Ibu Minah memang ibarat jawara di Kampungnya. Tentu saja, bukan jawara silat, tapi jawara debat. Enggak ada yang pernah “menang” lawan si ibu yang satu ini kalo soal silat lidah. Apalagi, dia memang penghuni kampung asli yang sudah tujuh turunan tinggal di situ.
Nah, sudah jadi kebiasaan ibu Minah pergi ke pasar setiap paginya. Jaraknya yang tidak jauh dari rumah, bikin dia semangat, hitung-hitung olahraga. Maka pagi itu, dia pun sudah siap pergi ke pasar dengan semua daftar belanjaannya.
Lantaran sedang hamil lagi dan hamil muda, dia pun ingin bikin rujak buah segar. Jambu air, bengkuang, kedondong, sampai mentimun sudah dibeli. Yang kurang, tinggal mangganya. Lama berkeliling, tukang mangga tidak juga dia temukan.
Nggak lama, akhirnya seorang bapak penjual mangga melintas di hadapannya.
Bu Minah: “Bang, mangganya berapa satu biji?”
Tukang mangga: “Tujuh rebuan, bu...”
Bu Minah: “Ah, yang bener? Mahal amat. Di pasar sebelah saja sekilo dua puluh rebu.”
Tukang mangga: “Sekarang kan lagi nggak musim, Tapi dijamin manis-manis deh.. Nih, kalau mau coba.”
Nggak lama, si tukang mangga mengambil pisau dan mengiris satu buah mangga. Diberikannya satu potongan mangga itu kepada ibu Minah.
Bu Minah: (sambil mengunyah) “Ah, yang kayak gini aja dibilang manis. Nanti kalau bagian saya dapetnya asem, gimana?”
Si tukang mangga rupanya nggak menyerah begitu saja.
Tukang mangga: “Gini aja bu, Kalau asem, enggak usah bayar deh, Saya kasih gratis!”
Mata ibu Minah langsung cerah mendengar kata gratis, Dia diam sebentar sambil berpikir.
Nggak lama ibu Minah pun menjawab...
Empok Minah: “Kalo begitu, saya minta dua kilo mangga asem, deh!”
Tukang mangga: “%$#@!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar